Saturday, July 10, 2010

Belajar Dari Alam

Kapan menunggu sebuah bicara hati yang menggubal detik jari jemari mewarnai latar syatar menjadi sebuah cerita untuk mata, dan pedoman buat jiwa. Akal tentang gayanya masih belum ditemui. Menghadap cuti membuatkan jiwa berkecamuk dan gagal manifestasikan sebuah arca bicara yang sempurna. Ideanya hilang. Saat termanggu mencari nada sesuai untuk ditari lenggok oleh jari menjadikan daku dungu dan sunyi. Entah di mana hilangnya karya sang pencinta agama. Pada dosanya yang menimbun juga ada yang mensirnakan garapan kata, pada khilafnya membuatkan daku bimbang untuk meluah sebuah ukiran puisi madah bernada.

Mengimbau dosa membuatkan mata sentiasa bergenang. Diulik mimpi mengenai malam pertama di syurga sekejapan membuatkan ketakutan pada neraka hilang, dan nafsu senang sahaja meranduk sebuah kealpaan. Air di ruang bisa juga tenang saat dirandai pawana, namun jangan dirajuk padanya, bimbang mendung tidak berhujan. Tanaman kian tandus pada tanah yang kian gersang, angin juga terasa panas seakan kirana itu hanyalah fatamorgana. Entah di mana hilangnya sebuah kesabaran, pada cerita yang tidak ada hujungnya, ataupun jiwa rapuh ini gagal untuk mencintaiNya.

Apa perlu lagi dipangkur gembur sebidang tanah jiwa untuk disemai benih cinta. Sedangkan menguning sudah padi di sawah buat sekian kalinya. Tidakkah daku mengambil detik nyanyi pada liuk padi yang menari bawah mentari. Gemerlapnya menyejukkan mata dan kirmizi mengindahkan lagi sebuah rentak yang bukan berantakan. Saat tundukknya menandakan penuh, saat tegaknya mengatakan muda. Semuanya menceritakan sebuah nasihat dalam nada terbaik dari Illahi.

Ingin sekali daku berkerumun pada hutan dan memantikkan nyalaan menerangi kegelapan. Ingin daku dengar bicara hutan. Berbisiklah padaku, hulurkan sebuah nasihat buat insan hamba berdosa. Itu bunyi semboyan mergastua. Kata ilmuan, itulah zikir yang berpanjangan. Saat mata ini beribadah dalam senyap dan mimpi, masih ada yang bernyanyi zikir. Apakah gagal untuk daku melihat katanya?

“Saudara… Saudara…”

“Ini satu pertiga malam. Bangunlah. Tangan Allah terbuka untukmu.”

“Hamba Allah. Tinggalkan lelapmu. Sujudlah pada Allah. Dia dekat padamu”

Ya. Mergastua memberi tamsil sejati untukku. Namun,jauh hatiku dari lambungan yang berselisih pada tilam terempuk. Pada daerah mimpi yang dicari, daku mengatup mata, tidak rela rasanya melepaskan kisah yang dicipta sesedap rasa.

Subhanallah…

Apa terampun akan bicara seperti pepasir yang melatari putihnya aur di pantai. Selalu mengingat, namun jarang berbuat. Zikir membasahi lidah, namun jadikan nafsu sebagai madah. Sungguhnya puisiMu yang tercatur pada alam sebagai cerita untuk keinsafan. Pada daun hijau dan kuning, ada nasihat bernas dan kemas. Pada ombak yang merindui pantai, ada bicara yang tertaksir. Semuanya hikmah, melainkan kepada yang lalai.

Astaghfirullah al azim

Astaghfirullah al azim

Astaghfirullah al azim

No comments:

Blog Stats

SEKAYU

SEKAYU